Propaganda Satu Putaran Prabowo-Gibran, Sebuah Penghinaan Akal Sehat

Oleh: Septian Raharjo (@Gus_Raharjo)

Sampai hari ini aku masih percaya netizen punya kontribusi besar dalam menjaga kewarasan di negeri ini.

Mereka tak ragu mengomentari sesuatu yang keliru, kadang dengan kata-kata kejam, sering pula dengan kelucuan-kelucuan yang aduhai.

Faktanya banyak persoalan di negeri ini selesai justru karena gerakan netizen, dari mulai kasus Sambo, hingga Rafael Alun.

Belakangan jika kita amati, netizen kita rupanya banyak tersedot dengan fenomena Gibran yang terang-terangan tampak sangat diistimewakan oleh negara.

Ada ungkapan sarkas dari netizen yang tak sengaja aku temukan di kolom komentar sebuah akun berita, bunyinya: “Kalau Gibran ngaji, nun mati bakal hidup lagi.”

Itu adalah komentar paling sialan yang membuat kita sulit untuk tidak tertawa. Sekali lagi itu menjadi bukti bahwa masyarakat kita adalah pembaca peristiwa yang baik.

Respon semacam itu muncul karena kekecewaan atau bahkan kemarahan yang sudah menumpuk atas berbagai fenomena yang mengiringi pencalonan Gibran.

Dari mulai mengakali lembaga negara, seringnya Gibran mangkir acara adu gagasan, hingga pengubahan format debat KPU yang meniadakan debat khusus calon wakil presiden.

Namun rupanya, ketidakpercayaan masyarakat yang begitu besar terhadap Gibran, tidak membuat mereka untuk berbenah dan memperbaiki kekurangan.

Kubu Prabowo-Gibran justru mengambil jalan pintas dengan menebar propaganda menang satu putaran.

Propaganda ini tak main-main, dilakukan secara sistematis, dan tentu saja dengan limpahan anggaran yang besar.

Lihat saja, seruan-seruan satu putaran semakin gencar dan masif. Bukan hanya para pendukung yang menyerukan ini, namun juga melibatkan lembaga-lembaga survei.

Hampir seluruh lembaga survei dari yang besar maupun kecil, semua diorkestrasi untuk memperlihatkan bahwa pasangan Prabowo-Gibran mampu menang satu putaran.

Bahkan bukan hanya metode surveinya yang dimainkan, namun teknis pengambilan sampel pun dikondisikan sedemikian rupa.

Misalnya seluruh lembaga survei yang akan melakukan survei harus izin dulu ke pemerintah desa.

Bahkan dalam beberapa kasus, kepala desa ikut mengisi kuisioner. Padahal jelas, pengondisian kepala desa oleh pasangan nomer dua sudah bukan rahasia lagi.

Tujuan kubu Prabowo-Gibran jelas menggiring opini publik, mempengaruhi psikologis pemilih, mengandalkan bandwagon effect atau ikut-ikutan.

Mereka berharap masyarakat yang belum menentukan pilihan akan mengikuti suara yang dianggap terbanyak.

Namun melihat ketidakpercayaan masyarakat yang begitu besar pada paslon nomer dua, propaganda ini sepertinya akan sangat sulit untuk diterima, apalagi berhasil.

Propaganda ini justru seperti menghina akal sehat, mengerdilkan daya penalaran publik. Beruntung jika tidak menjadi senjata makan tuan.

Masyarakat jelas-jelas sudah melihat, lembaga negara saja bisa dimainkan sedemikian rupa, apalagi sekedar lembaga survei.

Belum lagi jika kita melihat peta kekuatan pasangan calon lain.

Anies-Muhaimin misalnya punya basis massa yang jelas terutama dari kelompok islam kanan, begitupun Ganjar-Mahfud yang juga punya pendukung militan dari kalangan nasionalis.

Sampai saat ini, para pendukung, relawan, juga terus bekerja mengampanyekan jagoan mereka. Bahkan jika diamati, saat capres berkunjung ke berbagai daerah, sambutan masyarakat terlihat semakin antusias.

Lantas darimana coba satu putaran itu bisa diproleh? Dihitung dari segi manapun sangat sulit.

Satu-satunya yang paling mungkin agar itu terwujud adalah dengan kecurangan, misalnya memanfaakan kertas suara milik pemilih yang tidak hadir. Kertas suara itu dicoblos dan dimasukkan ke kubu nomer dua.

Pada akhirnya propaganda satu putaran ini, selain penghinaan terhadap akal sehat, justru semakin menimbulkan kecurigaan publik terhadap sikap ugal-ugalan penguasa. Tapi percayalah, netizen kita adalah hakim yang paling asik.**

Kabar Terkait