Opini: Gibran Sudah Jadi Bubur

Oleh: Mixil Mina Munir
Humas Gerakan Aktivis 98 (GERAK 98)

Seperti dikhawatirkan banyak kalangan, orang yang tidak cukup pengalaman tidak layak memimpin kapal besar bernama Indonesia. Sesungguhnya Republik Indonesia telah di ujung pencapaian yang gilang-gemilang setelah melewati 25 tahun reformasi.

Ekonomi bergerak maju, demokrasi telah menemukan bentuknya, pranata sosial juga telah stabil, kini porak-poranda demi ambisi sebuah dinasti.

Karena Gibran, republik ini yang sejatinya sedang bergerak cepat maju menuju Indonesia emas 2045 berbelok 180 derajat, balik lagi ke masa lalu, masa yang suram.

Bagi bangsa Indonesia pemilihan presiden 2024 menjadi hantu saat Gibran dan keluarganya memaksa dirinya maju.

Nafsu melanjutkan kepemimpinan bapaknya telah jadi tekad, namun pada saat yang sama ia tidak cukup syarat, tidak punya kemampuan, kapabilitas dan nyali untuk menjadi wakil presiden.

Entah kenapa musti dia? Toh masih sangat banyak politisi yang mempunyai kemampuan jauh di atas dia yang juga punya keinginan yang sama. Tanpa menabrak konstitusi, rambu-rambu dan etika yang ada.

Untuk memenuhi syahwat berkuasanya maka Gibran dan keluarganya merekayasa hukum, merubah tampilan, memoles gaya bicara serta menjauhkan akal sehat politik.

Saat Gibran tidak cukup umur, hukum  direkayasa dengan merubah syarat-syaratnya. Tentu dengan bantuan pamannya Anwar Usman yang menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.

Hasilnya, Gibran bisa menjadi calon wakil presiden tapi dengan mengorbankan pamannya. Seminggu kemudian pamannya terbukti melanggar kode etik dan putusannya juga telah diintervensi oleh eksekutif.

Gibran juga 10 kali tidak hadir saat debat terbuka yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ormas dan lembaga kajian.

Ketidakberanian Gibran hadir semakin menunjukkan bahwa Gibran tidak punya kemampuan, kapasitas dan kapabilitas secara teori dan akademik.

Bagi seorang pemimpin, kata-kata adalah janji, maka ketidakmauan Gibran tampil sejatinya adalah Gibran tidak mau janji pada publik, bangsa dan negara. Akhirnya muncul tagar #GIBRANtakutdebat.

Ketidakmampuan Gibran akhirnya dikonfirmasi saat beberapa kali wawancara doorstop dari para wartawan.

Blunder, tidak menguasai masalah, serta menjawab seadanya seperti “biarkan rakyat yang menilai” menjadi jurus pamungkasnya.

Akhirnya rakyat tahu, bahwa Gibran tidak menguasai detail persoalan, tidak punya kemampuan, kurang pengalaman serta kurang bernyali dalam menghadapi tantangan.

Lantas dengan gaya seperti ini kita rela menyerahkan nasib 260 juta rakyat Indonesia?

Gibran inilah yang jadi mimpi buruk bangsa. Para budayawan akhirnya berdiri dari kursi karyanya, para rohaniawan keluar dari masjid, gereja, vihara, pura dan ruang-ruang ibadahnya.

Para akademisi menggalang kekuatan, keluar kampus untuk melawannya. Mahasiswa berdiri bersama menggugat pencalonannya. Para sesepuh bangsa berbicara lantang menolak pencalonannya.

Mereka menyesalkan atas pencalon Gibran yang menabrak konstitusi dan merekayasa kemampuannya.

Mereka semua adalah para tokoh bangsa yang tidak lagi ingin jabatan dan kuasa, tapi  juga tidak rela Indonesia dibawa kembali kemasa ORBA.

Seandainya para pimpinan partai pengusung tidak dipaksa pak lurah untuk mencalonkan anaknya. Seandainya juga tidak ada politik sandera oleh Pak Lurah.

Mungkin wapresnya adalah Airlangga yang kaya pengalaman di legislatif dan eksekutif atau AHY yang lugas dalam bicara atau bahkan mungkin Erick Tohir yang punya reputasi internasional.

Mereka bertiga bukan tandingan Gibran dalam kemampuan memimpin, jaringan, pengalaman, reputasi dan kemampuan.***

Kabar Terkait